“Dahulukanlah kepentingan nasional diatas kepentingan
pribadi atau golongan”. Tentunya kita tidak asing dengan kata-kata tersebut,
khususnya pada saat kita berada di sekolah dasar. Tentunya kata-kata tersebut
bukan hanya sebagai isapan jempol belaka, tetapi harus diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuannya sudah jelas, untuk mengangkat nama
bangsa Indonesia di mata internasional.
Tetapi sepertinya kata-kata tersebut kurang dipahami oleh
segelintir orang, khususnya yang bekerja mengurus persepakbolaan di negeri ini.
Sudah menjadi kebanggaan untuk seorang pemain bola, baik yang amatir maupun professional
ketika dipanggil untuk membela negaranya dalam laga internasional, apalagi tim
lawan yang akan dihadapi merupakan tim yang terkenal. Namun kebanggaan tersebut
ternyata kurang diapresiasi oleh para pemegang kekuasaan, baik yang berada di
tingkat nasional maupun di tingkat klub yang mempekerjakan pemain tersebut. Kabar
terbaru, beberapa pemain timnas yang berlaga saat Indonesia bertemu Valencia
dalam laga persahabatan pada 4 Agustus 2012 akan dikenai sanksi karena tetap
mengikuti laga persahabatan tersebut padahal sebelumnya telah dilarang oleh
masing-masing tim tersebut. Pemain-pemain yang terkena sanksi karena dianggap
bertindak indisipliner tersebut antara lain Ponaryo Astaman, Firman Utina, dan
Muhammad Ridwan dari klub Sriwijaya FC serta Bambang Pamungkas dari klub
Persija.
Masalah tersebut tentunya tidak sekonyong-konyong muncul
begitu saja. Masalah sudah dimulai saat kepengurusan sebelumnya yang dipimpin
oleh Nurdin Halid, dimana saat itu seorang pengusaha yang bernama Arifin
Panigoro tidak puas dengan liga yang ada saat itu, sehingga hadirlah Indonesia
Premier League (IPL) sebagai liga tandingan saat itu, Indonesia Super League
(ISL). Harapan untuk terselesainya masalah sempat muncul saat Nurdin Halid
berhasil dilengserkan dan terbentuklah kepengurusan baru dibawah kekuasaan
Djohar Arifin. Namun masalah ternyata tidak berhenti sampai disitu. Pada awal
tugasnya, Djohar Arifin sudah membuat keputusan kontroversial dengan memecat
pelatih timnas saat itu, Alfred Riedl. Pemecatan yang mengantar Indonesia
menjadi runner-up pada piala AFF 2010 menyebabkan pemerosotan prestasi timnas. Singkat
cerita kisruh di tubuh PSSI semakin menjadi-jadi dan menyebabkan terbentuknya
PSSI tandingan di bawah pimpinan La Nyalla Mattalitti. Kisruh tersebut akhirnya
sampai pada dualisme di timnas.
PSSI versi Djohar Arifin yang sudah membentuk timnas untuk
menghadapi Valencia dan mewakili Indonesia di piala AFF yang akan berlangsung
November-Desember mendatang di Thailand dan Malaysia tidak didukung oleh
beberapa tim, khususnya yang berlaga di ISL. Beberapa pemain yang telah
disebutkan di awal artikel juga pemain lainnya seperti Titus Bonai, Oktavianus
Maniani, dan Patrick Wanggai dilarang oleh timnya masing-masing untuk bergabung
bersama timnas. Alasannya cukup sederhana dan rasional, karena para tim
tersebut menunggu kondisi persepakbolaan di Indonesia kondusif. Tetapi walaupun begitu, seharusnya
para tim tersebut tetap mengijinkan para pemainnya berlaga bersama timnas,
walaupun timnas tersebut di cap sebagai ‘timnas ilegal’. Alasannya tidak kalah
dengan alas an mengapa para pemain tersebut dilarang bergabung bersama timnas,
yaitu: Nama yang dibawa adalah TIMNAS INDONESIA, bukan TIMNAS PSSI DJOHAR
ARIFIN. Timnas Indonesia yang pada laga sebelumnya tidak menurunkan pemain dari
ISL dihancurkan oleh Malaysia dengan skor telak 0-6 di kandang sendiri. Apakah
kejadian tersebut ingin diulangi? Kalah dengan skor telak tersebut, siapa yang
akan malu? Rakyat Indonesia sendiri kan? Seharusnya jika ingin melarang
pemain-pemain tersebut membela timnas, setidaknya tunggu sampai Indonesia
terkena sanksi FIFA, sehingga Indonesia tidak berlaga di kancah internasional. Karena
kebetulan saja pemain-pemain berkualitas banyak yang berlaga di ISL, sedangkan
liga yang diakui legal adalah IPL. Jika kelak pemain berkualitas tercetak dari
IPL, sedangkan liga yang diakui adalah ISL, konflik yang sama akan terulang
kembali dan tidak ada habisnya. Mungkin Indonesia perlu meniru langkah
pemerintah Nigeria yang melarang timnasnya berlaga di kancah internasional
selama 2 tahun karena berprestasi buruk di piala Afrika, sehingga berujung pada
dibekukannya federasi sepak bola Nigeria oleh FIFA. Dengan dibekukannya timnas
Indonesia, maka secara tidak langsung akan berpengaruh pada tim-tim yang
berlaga di liga local Indonesia, karena tim-tim tersebut tidak dapat berlaga di
piala AFC atau sejenisnya. Tetapi di sisi lain akan terlihatlah siapa yang
berniat mengurus persepakbolaan Indonesia, orang-orang yang bertahan pada masa
sulit tersebut, berapa pun lamanya masa sulit tersebut.
Yah, memang saran yang ekstrim, tapi ini hanyalah opini,
bagaimana menurut anda? :-)
0 comments:
Post a Comment